Rabu, 10 Juli 2013

Teruntuk Calon Anakku



Waaaa.. Aku masih setia kepoin mbak Asa dan mas Zia :D Hehe
Barusan kemaren mbak Asa nge Posting tulisannya Mas Zia tahun 2010 silam. Pas keduanya mungkin belum saling kenal atau bertemu. Dan indahnya, sekarang calon anaknya mas Zia sudah di perut mbak Asa. Ini tulisan yang akan membuat kita berwah-wah ria. Selamat Membaca :)


11 Oktober 2010 pukul 12:06
[prolog] Bukan, ini bukan catatan seorang ayah yang sedang menanti kelahiran buah hatinya.

ini catatan seorang bujangan yang masih tertatih menata diri.... selamat menyimak ya. ^_^


Bismillah,
Assalamu’alaykum, Warahmatullah..

Teruntuk calon anakku,
Aku tahu, memang seharusnya aku tidak berhak untuk memanggilmu calon anakku. Karena bahkan aku tidak tahu, apakah kelak aku memilikimu atau tidak. Tapi yah, bukankah kita harus selalu optimis? Karena prasangka Allah diatas prasangka kita. Iya kan?

Teruntuk calon anakku,
Apa kabar nak? Kuharap engkau baik-baik saja, entah dimanapun kau berada. Karena aku yakin kau pasti dalam lindungan-Nya.
Nak, bolehkah aku menyampaikan sesuatu padamu? Mmmm… jujur ya. Saat ini aku meragu, apakah kelak ketika engkau benar-benar dihadirkan dalam pelukanku, aku sebagai ayah akan mampu menjadi ayah yang baik bagimu.

Begini nak. Boleh dibilang, calon ayahmu ini adalah calon ayah yang buruk. Tahukah engkau, betapa seringnya aku mengulur waktu shalat, padahal seruan Allah telah berkumandang?  Apa yang harus kukatakan nanti, ketika engkau berkata padaku, “Abi, udah azan kok masih di depan komputer?”
Betapa seringnya aku lalai dalam melisankan kalamullah, dan menentramkan hati dengannya. Aku takut, kelak kau akan bertanya, “Katanya Abi hafal juz 29 sama 28. Kok nggak mau ngajarin aku?”

Betapa seringnya aku lalai menjaga mataku dari para bidadari yang seenaknya kuklaim sebagai calon istriku.

Ah, hehehe.
Aku jadi malu, ketika membicarakan ini denganmu, nak. Terus terang, aku penasaran dari rahim siapakah dirimu akan muncul. Kadang, permainan tebak-tebakan itu memunculkan rasa-rasa yang tidak jelas dalam diriku. Tapi untuk hal ini bolehlah kamu berbangga sedikit pada calon ayahmu. Dia mampu menahan diri, meski tidak sepenuhnya.

Paling tidak, calon ayahmu ini tidak punya pacar. Bukannya tidak laku, bukan. Tapi dia memilih untuk tidak memilikinya. Hehe, Lumayan kan? ^_^

Kenapa tidak punya? Hmm… bukan apa-apa, anakku. Begini saja deh, besok kamu ingin Ummi yang seperti apa?
Apakah Ummi yang lembut, penuh perhatian, mengajarimu kasih sayang dan kekuatan, Ummi yang mendidik dan membinamu jadi penerus risalah Islam?
Atau Ummi yang bersemangat, enerjik, mengajakmu berlari bersamanya, menyongsong kemenangan agama Allah?
Atau, Ummi yang pendiam, namun kata-katanya selalu penuh hikmah dan mengisi hatimu setiap kali ia berbicara?

Yang jelas engkau tidak ingin punya Ummi yang berteriak atau membentakmu setiap kali kau bersalah kan? Hehe, sama. Calon ayahmu ini juga tidak. Mana mau aku punya istri galak, hehehe.
Ngg, galak sih tidak apa-apa, asal galaknya dalam kebenaran. Setuju kan, nak?

Maka dari itu nak, aku ingin kelak engkau hadir dalam rahim wanita yang baik. Bukan wanita yang begitu mudah jatuh dalam pelukan laki-laki, dan melepaskannya seolah itu hanya main-main. Juga bukan wanita yang sekehendak hati menampakkan aurat dan syahwatnya.
Dan wanita yang baik dan shalihah seperti itu pasti tidak akan mau, melihat calon suaminya serba tidak jelas. Tidak jelas agamanya, tidak jelas nafkahnya (yang ini sih ikhtiarku maksimal nak, berapapun nafkahku kelak, tolong disyukuri ya ^_^ ), tidak jelas statusnya.

Aku tidak ingin dia berpikir, ‘Jangan-jangan besok saat walimatul ‘ursy, mantan pacarnya yang nomor empat melabrakku gara-gara ia masih suka dengan suamiku…’
‘Jangan-jangan calon suamiku itu tidak pandai mengaji? Bagaimana nanti aku belajar Al-Qur’an?’
‘Jangan-jangan calon suamiku itu tidak bisa shalat, tak hafal bacaannya? Siapa yang nanti jadi imamku?’
‘Jangan-jangan….’

Ah, memang tidak baik berprasangka buruk, nak. Tapi adalah lebih tidak baik lagi, ketika keadaan kitalah yang menyebabkan prasangka buruk itu.

Seperti ketika misalkan penduduk sebuah kampung berprasangka buruk pada seorang janda yang setiap malam membawa pulang laki-laki yang tidak jelas. Sudah begitu, bergonta-ganti pula.
Salahkah prasangka buruk para penduduk? Salah. Tapi yang lebih salah adalah si janda dengan segala tabiatnya. (Hehe, cerita ini pernah sungguhan terjadi di daerah tempat aku tinggal lho nak..)

 Dan ketika Allah telah berjanji, bahwa hanya yang baik-lah yang kelak akan mendapatkan yang baik pula, aku paham dan meyakininya. Semoga kelak engkau mendapatkan Ummi yang shalihah, yang baik, dan berbakti padaku. Sehingga besok ketika engkau telah hadir ke dunia, Ummi-mu akan mendidikmu sebagai penerus risalah Islam, penjaga Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus penakluk dunia. Amin, Allahumma Amin…

Teruntuk calon anakku,
Tidak begitu banyak sebenarnya yang bisa diharapkan dari calon ayah seperti diriku ini. Ayah yang tidak baik dan serampangan dalam segala hal. Namun, satu hal yang perlu kau ketahui, nak. Calon ayahmu ini akan sekuat tenaga berusaha menjadi ayah terbaik bagimu.
Akan kujaga janjimu pada Sang ‘Azza wa Jalla, yang telah bertanya kepadamu, Alastu birabbikum? Bukankah Aku ini Tuhanmu? Lalu kau menjawab, Balaa, syahidnaa. Benar, kami menyaksikan...

Seringkali aku takut, tatkala mendengar pepatah lama, ‘buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya’. Aku takut, kelak ketika engkau lahir dan tumbuh dewasa, engkau akan meniru semua kejelekanku.
Jangan ya nak, karena engkau adalah penerus risalah Islam ini… jangan ulangi lagi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan ayahmu ini di masa silam...

Teruntuk calon anakku,
Hanya satu hal saja yang kuharapkan dari dirimu, calon anakku. Jadilah engkau penyambung pahala jariyah-ku, tatkala besok aku telah berselimutkan kain putih, beralaskan tanah, berkawan dengan Munkar dan Nakir…
Jadilah engkau penyelamatku dari azab kubur dengan do’a-do’amu, jadilah engkau pembelaku dengan semua kesaksianmu di hari perhitungan esok.

Teruntuk calon anakku,
Meski kita belum bertemu, namun aku mencintaimu…

[note] : ini adalah catatan yang saya tuliskan, sebagai penunai janji atas sahabatku mbak Mutia yang telah memberikan ide, meski lewat jalan yang berbeda. Jazakillah.

Pertanyaannya, kenapa saya menulis ‘teruntuk calon anakku?’ bukannya ‘teruntuk calon isteriku?’ bukankah secara siklus kebaikan, yang lebih dahulu adalah menikah, baru memiliki anak?
Mmm… saya teringat pesan ayahanda, ketika saya terlibat diskusi hangat dengan beliau. Beliau berkata,

“Zia, besok kalau kamu mau menikah, jangan cari calon istri. Tapi carilah calon ibu untuk anak-anakmu.”


Terima kasih Abi, atas nasehatnya.. 


Cuma Co-Paste tulisannya Mas Zia dari Fesbuknya. Yah, semoga bisa menjadi perbaikan kedepannya. Besok-besok aku juga mau bikin surat kayak gini. Judulnya juga "Teruntuk Calon Anak yang akan Ku Lahirkan" Aye!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar