Waaaa.. Aku masih setia kepoin mbak Asa dan mas Zia :D Hehe
Barusan kemaren mbak Asa nge Posting tulisannya Mas Zia tahun 2010 silam. Pas keduanya mungkin belum saling kenal atau bertemu. Dan indahnya, sekarang calon anaknya mas Zia sudah di perut mbak Asa. Ini tulisan yang akan membuat kita berwah-wah ria. Selamat Membaca :)
11 Oktober
2010 pukul 12:06
[prolog]
Bukan, ini bukan catatan seorang ayah yang sedang menanti kelahiran buah
hatinya.
ini catatan
seorang bujangan yang masih tertatih menata diri.... selamat menyimak ya. ^_^
Bismillah,
Assalamu’alaykum,
Warahmatullah..
Teruntuk
calon anakku,
Aku tahu,
memang seharusnya aku tidak berhak untuk memanggilmu calon anakku. Karena
bahkan aku tidak tahu, apakah kelak aku memilikimu atau tidak. Tapi yah,
bukankah kita harus selalu optimis? Karena prasangka Allah diatas prasangka
kita. Iya kan?
Teruntuk
calon anakku,
Apa kabar
nak? Kuharap engkau baik-baik saja, entah dimanapun kau berada. Karena aku
yakin kau pasti dalam lindungan-Nya.
Nak,
bolehkah aku menyampaikan sesuatu padamu? Mmmm… jujur ya. Saat ini aku meragu,
apakah kelak ketika engkau benar-benar dihadirkan dalam pelukanku, aku sebagai
ayah akan mampu menjadi ayah yang baik bagimu.
Begini nak.
Boleh dibilang, calon ayahmu ini adalah calon ayah yang buruk. Tahukah engkau,
betapa seringnya aku mengulur waktu shalat, padahal seruan Allah telah
berkumandang? Apa yang harus kukatakan nanti, ketika engkau berkata
padaku, “Abi, udah azan kok masih di depan komputer?”
Betapa
seringnya aku lalai dalam melisankan kalamullah, dan menentramkan hati
dengannya. Aku takut, kelak kau akan bertanya, “Katanya Abi hafal juz 29 sama
28. Kok nggak mau ngajarin aku?”
Betapa
seringnya aku lalai menjaga mataku dari para bidadari yang seenaknya kuklaim
sebagai calon istriku.
Ah, hehehe.
Aku jadi
malu, ketika membicarakan ini denganmu, nak. Terus terang, aku penasaran dari
rahim siapakah dirimu akan muncul. Kadang, permainan tebak-tebakan itu
memunculkan rasa-rasa yang tidak jelas dalam diriku. Tapi untuk hal ini
bolehlah kamu berbangga sedikit pada calon ayahmu. Dia mampu menahan diri,
meski tidak sepenuhnya.
Paling
tidak, calon ayahmu ini tidak punya pacar. Bukannya tidak laku, bukan. Tapi dia
memilih untuk tidak memilikinya. Hehe, Lumayan kan? ^_^
Kenapa tidak
punya? Hmm… bukan apa-apa, anakku. Begini saja deh, besok kamu ingin Ummi yang
seperti apa?
Apakah Ummi
yang lembut, penuh perhatian, mengajarimu kasih sayang dan kekuatan, Ummi yang
mendidik dan membinamu jadi penerus risalah Islam?
Atau Ummi
yang bersemangat, enerjik, mengajakmu berlari bersamanya, menyongsong
kemenangan agama Allah?
Atau, Ummi
yang pendiam, namun kata-katanya selalu penuh hikmah dan mengisi hatimu setiap
kali ia berbicara?
Yang jelas
engkau tidak ingin punya Ummi yang berteriak atau membentakmu setiap kali kau
bersalah kan? Hehe, sama. Calon ayahmu ini juga tidak. Mana mau aku punya istri
galak, hehehe.
Ngg, galak
sih tidak apa-apa, asal galaknya dalam kebenaran. Setuju kan, nak?
Maka dari
itu nak, aku ingin kelak engkau hadir dalam rahim wanita yang baik. Bukan
wanita yang begitu mudah jatuh dalam pelukan laki-laki, dan melepaskannya
seolah itu hanya main-main. Juga bukan wanita yang sekehendak hati menampakkan
aurat dan syahwatnya.
Dan wanita
yang baik dan shalihah seperti itu pasti tidak akan mau, melihat calon suaminya
serba tidak jelas. Tidak jelas agamanya, tidak jelas nafkahnya (yang ini sih
ikhtiarku maksimal nak, berapapun nafkahku kelak, tolong disyukuri ya ^_^ ),
tidak jelas statusnya.
Aku tidak
ingin dia berpikir, ‘Jangan-jangan besok saat walimatul ‘ursy, mantan
pacarnya yang nomor empat melabrakku gara-gara ia masih suka dengan suamiku…’
‘Jangan-jangan
calon suamiku itu tidak pandai mengaji? Bagaimana nanti aku belajar Al-Qur’an?’
‘Jangan-jangan
calon suamiku itu tidak bisa shalat, tak hafal bacaannya? Siapa yang nanti jadi
imamku?’
‘Jangan-jangan….’
Ah, memang
tidak baik berprasangka buruk, nak. Tapi adalah lebih tidak baik lagi, ketika
keadaan kitalah yang menyebabkan prasangka buruk itu.
Seperti
ketika misalkan penduduk sebuah kampung berprasangka buruk pada seorang janda
yang setiap malam membawa pulang laki-laki yang tidak jelas. Sudah begitu,
bergonta-ganti pula.
Salahkah
prasangka buruk para penduduk? Salah. Tapi yang lebih salah adalah si janda
dengan segala tabiatnya. (Hehe, cerita ini pernah sungguhan terjadi di daerah
tempat aku tinggal lho nak..)
Dan
ketika Allah telah berjanji, bahwa hanya yang baik-lah yang kelak akan
mendapatkan yang baik pula, aku paham dan meyakininya. Semoga kelak engkau
mendapatkan Ummi yang shalihah, yang baik, dan berbakti padaku. Sehingga besok
ketika engkau telah hadir ke dunia, Ummi-mu akan mendidikmu sebagai penerus
risalah Islam, penjaga Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus penakluk dunia. Amin,
Allahumma Amin…
Teruntuk
calon anakku,
Tidak begitu
banyak sebenarnya yang bisa diharapkan dari calon ayah seperti diriku ini. Ayah
yang tidak baik dan serampangan dalam segala hal. Namun, satu hal yang perlu
kau ketahui, nak. Calon ayahmu ini akan sekuat tenaga berusaha menjadi ayah
terbaik bagimu.
Akan kujaga
janjimu pada Sang ‘Azza wa Jalla, yang telah bertanya kepadamu, Alastu
birabbikum? Bukankah Aku ini Tuhanmu? Lalu kau menjawab, Balaa,
syahidnaa. Benar, kami menyaksikan...
Seringkali
aku takut, tatkala mendengar pepatah lama, ‘buah apel jatuh tak jauh dari
pohonnya’. Aku takut, kelak ketika engkau lahir dan tumbuh dewasa, engkau akan
meniru semua kejelekanku.
Jangan ya
nak, karena engkau adalah penerus risalah Islam ini… jangan ulangi lagi
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan ayahmu ini di masa silam...
Teruntuk
calon anakku,
Hanya satu
hal saja yang kuharapkan dari dirimu, calon anakku. Jadilah engkau penyambung
pahala jariyah-ku, tatkala besok aku telah berselimutkan kain putih, beralaskan
tanah, berkawan dengan Munkar dan Nakir…
Jadilah
engkau penyelamatku dari azab kubur dengan do’a-do’amu, jadilah engkau
pembelaku dengan semua kesaksianmu di hari perhitungan esok.
Teruntuk
calon anakku,
Meski kita
belum bertemu, namun aku mencintaimu…
[note] : ini
adalah catatan yang saya tuliskan, sebagai penunai janji atas sahabatku mbak
Mutia yang telah memberikan ide, meski lewat jalan yang berbeda. Jazakillah.
Pertanyaannya,
kenapa saya menulis ‘teruntuk calon anakku?’ bukannya ‘teruntuk calon
isteriku?’ bukankah secara siklus kebaikan, yang lebih dahulu adalah menikah,
baru memiliki anak?
Mmm… saya
teringat pesan ayahanda, ketika saya terlibat diskusi hangat dengan beliau.
Beliau berkata,
“Zia, besok
kalau kamu mau menikah, jangan cari calon istri. Tapi carilah calon ibu untuk
anak-anakmu.”
Terima kasih
Abi, atas nasehatnya..
Cuma Co-Paste tulisannya Mas Zia dari Fesbuknya. Yah, semoga bisa menjadi perbaikan kedepannya. Besok-besok aku juga mau bikin surat kayak gini. Judulnya juga "Teruntuk Calon Anak yang akan Ku Lahirkan" Aye!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar