Minggu, 02 Desember 2012

Cerpen Pertamaku



Hidupku Mengenaskan
            Batuk-batuk, tersandung dan mulai mempercepat langkah menuju ruangan berisikan meja, kursi dan murid. Apalagi kalau bukan ruangan kelas. Menyerah pada nasib baik yang akan melindungiku dari serangan ‘dipulangkan’ oleh para petugas piket. Beginilah rutinitas seorang siswa biasa dari sekolah biasa dan terus akan berkurang dari level biasa karena kemalasannya. Perkenalkan, namaku : Maulia Hikmah. Aku siswa kelas XII IPA 1 MAN Yogyakarta III.
            Salah satu hal yang terasa begitu menyenangkan untuk di dengar adalah bel pulang sekolah atau kata-kata “habis ini pelajaran kosong”. Dan yang paling membahagiakan adalah pernyataan yang BENAR kalau besok itu LIBUR. Kenapa harus Benar? Karena kalau tidak benar, aku bisa setress setengah mati berharap besok adalah hari libur. Selain itu, tidak ada hal yang menyenangkan lain kecuali tidur.
            Berawal dari sebuah siang, kembali ke kampung halaman, naik bus Jogja-Magelang. Ini rasanya seperti setengah duduk setengah berdiri. Tempat duduknya hanya secuil kue bolu dibelah lima. Rasanya mau melosot dan sepertinya lebih nyaman aku duduk di atas lantai bus saja. Tapi tidak, kakiku yang berlapis sandal saja sudah terasa akan terbakar. Apalagi kalau aku duduk di atas mesin bus yang panas ini. Bisa-bisa pantatku jadi patat bacem panggang yang enak rasanya. Ya sudahlah. Mengalah. Dengan tenangnya aku duduk diatas tempat duduk seperlima bolu ini.
            Tanpa sadar, ‘Duk..duk’ kepalaku terantuk kursi pak sopir. Para lansia di sebelahku besorak, ‘eyaa..yaa.. lhaaa..’ kata-kata ‘lhaa..’ yang ku dengar mirip suara suporter bola yang team jagoannya meng-goalkan bola ke dalam gawang. Bahagianya mereka kepalaku terantuk kursi pak sopir. Kepalaku mendidih karena marah dan pipiku merah karena malu. Aku hanya bisa berkata dalam hati, “Tobat to mbah. Sampun sepuh, ampun ngaruh-ngaruhi tiyang enom”, amat menyedihkan. Aku lanjutkan tidurku saja, mau seperti apapun rupaku obat ngantuk memang hanya satu, tidur. Aku sudah tidak peduli mau seperti apapun orang-orang di sekitarku mengejekku saat aku terkantuk-kantuk di bus. Yang paling penting saat itu hanya aku bisa tidur. Setibanya di daerah Muntilan, aku terbangun sesaat. Dan tahu apa yang terjadi? Ketiga simbah-simbah tersebut tertidur lelap. Ku gelengkan kepalaku tanda aku puas sekali!
            Bagusnya aku meliburkan diri selama 3 hari di rumah, dengan dalih aku mau membuat Kartu Tanda Penduduk ditambah Indonesia. Kenapa harus Indonesia? Kenapa? Benar-benar memuakkan. Untunglah ibuku yang menjadi bidadari penyelamatku saat ini sudah menyiapkan segalanya. Jadi pembuatan KTPku pasti akan berjalan lancar. Yang ada dalam pikiranku setiap akan membuat berkas-berkas yang berhubungan dengan pemerintah adalah sangat rumit dan penuh dengan uang mendidih pemerintah yang tidak segera di angkat dari tungkunya. Permisi, pak presiden, pak mentri, pak hakim, saya mau membenci anda semua.
            3 hari di rumah tidak mengubah keadaanku yang mengenaskan. Hidupku layaknya bisa di sebut sebagai hidup yang lebih mengenaskan dari hidup orang-orang di pedalaman. Sempat aku ingin berusaha yang sedikit lebih keras karena aku tekagum-kagum oleh manusia-manusia ajaib dari negeri timur, Korea. Seperti remaja kebanyakan yang sekarang banyak menggandrungi Korea. Yang kadang-kadang oleh segelintir orang dipandang sebelah mata. Apa salahnya sih? Mereka juga bekerja keras, kan? 20 tahun! Bukan hal yang mudah.
Lagi-lagi semangatku ini di hentikan karena sikap realistisku yang terlalu tinggi setelah menonton TV. Aku tidak sesempurna mereka, menyerah sajalah. Hidupku tidak akan bisa seperti mereka, bilang saja kalau mau minta jangan muluk-muluk. Cantik? Tidak satupun orang mengatakannya, termasuk ayah dan ibuku. Mereka tidak tega untuk berbohong dan memberikan harapan palsu padaku. Pintar? Banyak sekali yang lebih pintar dan jenius. Kaya? Pulsa setiap bulan saja harus berhutang. Bisa makan sehari-hari saja aku harusnya sudah merasa beruntung. Daripada di bilang orang tidak tahu di untung? Ya sudah, aku tidur saja. Lelap. Tanpa beban.
Rupanya tidurku yang tanpa beban ini adalah sebuah beban bagi umat.
Rupanya hidupku yang mengenaskan ini adalah gambaran negeriku yang mengenaskan.
Rupanya redupnya semangatku karena aku tidak punya tujuan.
Bus Jogja-Magelang membawaku kembali ke negeri perantauan. Jogjakarta. Di tengah keputus-asaanku, 3 remidi dan 1 ulangan yang menyongsongku esok hari seakan menarik seluruh massa tubuhku. Dengan langkah gontai aku meninggalkan kenikmatan hidup di rumah. Kepalaku berat, membayangkan angka-angka, grafik dan unsur-unsur kimia yang sebentar lagi akan menghantuiku. Tugas-tugas bahasa dan agama yang siap menghantamku. Aku lesu.
Dengan amunisi headset dan lagu-lagu menenangkan dari Kyuhyun – SuperJunior yang beralun lembut membuatku kembali terkantuk-kantuk seperti biasanya. Menghilangkan sejenak kalut akan pekerjaan sekolah yang terus menekanku. Tekanan yang tidak berujung.
Panas sekali, aku tidak bisa tidur! Kesalku pada alam yang panas malah membuatku geram pada seisi bus. Mulai ku perhatikan satu persatu bagian bus yang sudah reot ini. Pantas saja Indonesia tidak maju-maju, kendaraan seperti ini saja masih di biarkan berkaliaran dan seakan di acuhkan oleh pemerintah. Uang-uang pembangunan itu bullshit, tidak ada bukti nyatanya sama sekali. Mana ini mentri Pembangunan dan Transportasi? Mulai ku lirik semua penumpang di dalam bus. Ku nilai satu-per satu dari penampilan mereka sesuai standar kekayaan. Ya, apalagi kalau bukan kekayaan pandangan manusia hina ini? Banyak yang ku nilai 5 dan ada beberapa yang ku nilai 8 atau 9 untuk ukuran penumpang bus. Hatiku berbisik, “Maaf ya, bung. Saya dan kamu pada akhirnya sama. Sama-sama naik bus kelas ekonomi, meskipun kamu punya BB atau menenteng i-Phone, tapi kita sama-sama membayar 8 ribu untuk sampai di Jogja”, aku tersenyum dan meneruskan pandanganku ke arah jendela. Dan bus siap berangkat.
Aku haus. Menyesalnya aku kenapa tidak bawa air minum dari rumah. Sesudahnya aku berfikir seperti itu, pedagang asongan masuk kedalam bus dan menawarkan berbagai minuman. Sial. Aku sangat pengen sekali, tapi boros. Uangku akan sia-sia kalau hanya ku habiskan untuk minuman ‘mahal’ yang mereka tawarkan. Mahal, karena posisi mereka yang menawarkan, bukan kita yang datang sendiri untuk membeli. Sudah, ku tahan saja haus ini.
Sejenak ku tatap lamat-lamat kotak asongannya. Itu air minum tidak lebih dari 5, permen dan segala tetek bengek nya kalau aku beli semua dengan uang sakuku, kurasa juga cukup. Lalu seberapa besar keuntungan bapak asongan setiap harinya ya? Aku mulai menggunakan kemampuan matematikaku yang terbatas ini untuk menghitung kalkulasi keuntungan bapak asongan yang unyu unyu ini. Dan aku berhenti pada bilangan yang kecil. Khayalanku berujung pada sosok Chairil Tandjung yang kecilnya juga nelangsa  tapi sukses luar biasa sekarang, kira-kira bapak asongan ini bisa seperti pak Tandjung itu juga nggak ya? Padahal bapak asongan ini sudah berumur. Mataku terpejam, menghilangkan pikiran yang aneh ini, dan berkesimpulan untuk segera mengubah gaya hidupku agar tidak berujung nelangsa nantinya.
...puff the magic dragon live under the sea... suara Kyuhyun yang amat sangat merdu menenangkan hatiku lagi. Nyenyak hampir saja ku raih hingga tiba-tiba kakak-kakak pengamen mengucap salam dan mulai menyanyi ...---... Apa-apaan ini??? Suaranya benar- benar memekakkan telinga. Segera ku matikan musik yang ku dengarkan, tidak rela aku suara Kyuhyun yang bagus ini terkontaminasi oleh suara mas-mas pengamen. Mukaku masam, tapi tetap saja ku keluarkan receh Lima ratus rupiah agar mas-mas ini cepat keluar dan tidak bermuka masam sehingga tidak menambah buruk moodku. Ku perhatikan lagi mas-mas ini. Kalau dilihat dari perawakannya dia masih seumuranku atau mungkin sekarang sudah mengenyam bangku universitas. Lalu kenapa ya dia mengamen? Begitu menyenangkankan kegiatan mengamen sehingga dia tidak berusaha keras untuk kuliah? Bila di bandingkan dengan berita di koran : ‘Anak Tukang Becak jadi Dokter’ mas-mas ini sudah pasti kurang usaha untuk meraih impiannya. Atau kenapa dia tidak mendaftar audisi menyanyi? Suaranya lumayan kalau mau di latih pasti bagus itu. Haha, aku tertawa sendiri. Ku tepuk-tepuk mukaku, untuk menyadarkanku agar tidak ber su’udzon lagi pada mas-mas pengamen tadi.
Aku berusaha memajamkan mataku lagi, tapi pemandangan indah orang-orang kaya di daerah Mertoyudan membuatku iri. Begitu nyamannya mereka bergaya sana-sini dan setiap orang memandang takjub begitu saja. Sedangkan di sampingnya, orang-orang yang tidak mampu mau bergaya seperti apapun yang mereka gayakan selalu di pandang sebelah mata oleh orang awam seperti aku ini.
Sampailah aku pada kesimpulan bahwa hidup itu sebuah pilihan, mau baik atau buruk. Kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dan bahagia atau tidak. Semua tergantung usaha, dan strategi kita. Salah satunya adalah strategi merebutkan kasih sayang Alloh. Tidak ada yang tahu seperti apa hati-hati manusia yang sungguh-sungguh beribadah pada Alloh, hanya Alloh yang tahu. Oleh karena itu penilaianku pada para penumpang bus ini menjadi tidak berarti. Karena hati-hati manusia tidak ada yang tahu.
Ceritaku akan segera berakhir, maka perhatikan baik-baik.
Aku sudah sampai di asrama tempat aku tinggal selama aku menimba ilmu di sekolahku tercinta ini. Lelah? Pasti. Haus? Lebih pasti lagi. Ingin segera tidur? Jawabnya, Ya! Yang lebih pasti adalah pelajaran yang sudah dipetik selama dalam perjalanan menuju Jogjakarta. Di dalam Bus Jogja-Magelang. Aku yang semula punya hidup yang mengenaskan harus menghiasanya dengan keikhlasan hati dan semangat yang tinggi karena Alloh.
 Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Jam sudah menunjukkan pukul 22.45 semalaman ku habiskan waktuku membereskan seluruh harta bendaku yang berserakan di kamar. Aku benar-benar ingin istirahat. Aku tidur tanpa beban.
Sebentar. Tanpa beban, kataku?
Berarti, aku lupa?
Ah, ya sudah yang penting aku bisa tidur.

Di tulis untuk memenuhi tugas bahasa indonesia. hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar