Hidupku Mengenaskan
Batuk-batuk,
tersandung dan mulai mempercepat langkah menuju ruangan berisikan meja, kursi
dan murid. Apalagi kalau bukan ruangan kelas. Menyerah pada nasib baik yang
akan melindungiku dari serangan ‘dipulangkan’ oleh para petugas piket.
Beginilah rutinitas seorang siswa biasa dari sekolah biasa dan terus akan
berkurang dari level biasa karena kemalasannya. Perkenalkan, namaku : Maulia
Hikmah. Aku siswa kelas XII IPA 1 MAN Yogyakarta III.
Salah
satu hal yang terasa begitu menyenangkan untuk di dengar adalah bel pulang
sekolah atau kata-kata “habis ini pelajaran kosong”. Dan yang paling
membahagiakan adalah pernyataan yang BENAR kalau besok itu LIBUR. Kenapa harus
Benar? Karena kalau tidak benar, aku bisa setress setengah mati berharap besok
adalah hari libur. Selain itu, tidak ada hal yang menyenangkan lain kecuali
tidur.
Berawal
dari sebuah siang, kembali ke kampung halaman, naik bus Jogja-Magelang. Ini
rasanya seperti setengah duduk setengah berdiri. Tempat duduknya hanya secuil kue
bolu dibelah lima. Rasanya mau melosot dan sepertinya lebih nyaman aku duduk di
atas lantai bus saja. Tapi tidak, kakiku yang berlapis sandal saja sudah terasa
akan terbakar. Apalagi kalau aku duduk di atas mesin bus yang panas ini.
Bisa-bisa pantatku jadi patat bacem panggang yang enak rasanya. Ya sudahlah.
Mengalah. Dengan tenangnya aku duduk diatas tempat duduk seperlima bolu ini.
Tanpa
sadar, ‘Duk..duk’ kepalaku terantuk kursi pak sopir. Para lansia di sebelahku
besorak, ‘eyaa..yaa.. lhaaa..’ kata-kata ‘lhaa..’ yang ku dengar mirip suara
suporter bola yang team jagoannya meng-goalkan bola ke dalam gawang. Bahagianya
mereka kepalaku terantuk kursi pak sopir. Kepalaku mendidih karena marah dan
pipiku merah karena malu. Aku hanya bisa berkata dalam hati, “Tobat to mbah. Sampun sepuh, ampun ngaruh-ngaruhi tiyang
enom”, amat menyedihkan. Aku lanjutkan tidurku saja, mau seperti apapun
rupaku obat ngantuk memang hanya satu, tidur. Aku sudah tidak peduli mau
seperti apapun orang-orang di sekitarku mengejekku saat aku terkantuk-kantuk di
bus. Yang paling penting saat itu hanya aku bisa tidur. Setibanya di daerah
Muntilan, aku terbangun sesaat. Dan tahu apa yang terjadi? Ketiga simbah-simbah tersebut tertidur lelap.
Ku gelengkan kepalaku tanda aku puas sekali!
Bagusnya
aku meliburkan diri selama 3 hari di rumah, dengan dalih aku mau membuat Kartu
Tanda Penduduk ditambah Indonesia. Kenapa harus Indonesia? Kenapa? Benar-benar
memuakkan. Untunglah ibuku yang menjadi bidadari penyelamatku saat ini sudah
menyiapkan segalanya. Jadi pembuatan KTPku pasti akan berjalan lancar. Yang ada
dalam pikiranku setiap akan membuat berkas-berkas yang berhubungan dengan
pemerintah adalah sangat rumit dan penuh dengan uang mendidih pemerintah yang
tidak segera di angkat dari tungkunya. Permisi, pak presiden, pak mentri, pak
hakim, saya mau membenci anda semua.
3
hari di rumah tidak mengubah keadaanku yang mengenaskan. Hidupku layaknya bisa
di sebut sebagai hidup yang lebih mengenaskan dari hidup orang-orang di
pedalaman. Sempat aku ingin berusaha yang sedikit lebih keras karena aku
tekagum-kagum oleh manusia-manusia ajaib dari negeri timur, Korea. Seperti
remaja kebanyakan yang sekarang banyak menggandrungi Korea. Yang kadang-kadang
oleh segelintir orang dipandang sebelah mata. Apa salahnya sih? Mereka juga
bekerja keras, kan? 20 tahun! Bukan hal yang mudah.
Lagi-lagi semangatku
ini di hentikan karena sikap realistisku yang terlalu tinggi setelah menonton
TV. Aku tidak sesempurna mereka, menyerah sajalah. Hidupku tidak akan bisa
seperti mereka, bilang saja kalau mau minta jangan muluk-muluk. Cantik? Tidak
satupun orang mengatakannya, termasuk ayah dan ibuku. Mereka tidak tega untuk
berbohong dan memberikan harapan palsu padaku. Pintar? Banyak sekali yang lebih
pintar dan jenius. Kaya? Pulsa setiap bulan saja harus berhutang. Bisa makan
sehari-hari saja aku harusnya sudah merasa beruntung. Daripada di bilang orang
tidak tahu di untung? Ya sudah, aku tidur saja. Lelap. Tanpa beban.
Rupanya tidurku yang
tanpa beban ini adalah sebuah beban bagi umat.
Rupanya hidupku yang
mengenaskan ini adalah gambaran negeriku yang mengenaskan.
Rupanya redupnya
semangatku karena aku tidak punya tujuan.
Bus Jogja-Magelang
membawaku kembali ke negeri perantauan. Jogjakarta. Di tengah keputus-asaanku,
3 remidi dan 1 ulangan yang menyongsongku esok hari seakan menarik seluruh
massa tubuhku. Dengan langkah gontai aku meninggalkan kenikmatan hidup di
rumah. Kepalaku berat, membayangkan angka-angka, grafik dan unsur-unsur kimia
yang sebentar lagi akan menghantuiku. Tugas-tugas bahasa dan agama yang siap
menghantamku. Aku lesu.
Dengan amunisi headset
dan lagu-lagu menenangkan dari Kyuhyun – SuperJunior yang beralun lembut membuatku
kembali terkantuk-kantuk seperti biasanya. Menghilangkan sejenak kalut akan
pekerjaan sekolah yang terus menekanku. Tekanan yang tidak berujung.
Panas sekali, aku tidak
bisa tidur! Kesalku pada alam yang panas malah membuatku geram pada seisi bus.
Mulai ku perhatikan satu persatu bagian bus yang sudah reot ini. Pantas saja
Indonesia tidak maju-maju, kendaraan seperti ini saja masih di biarkan
berkaliaran dan seakan di acuhkan oleh pemerintah. Uang-uang pembangunan itu bullshit, tidak ada bukti nyatanya sama
sekali. Mana ini mentri Pembangunan dan Transportasi? Mulai ku lirik semua
penumpang di dalam bus. Ku nilai satu-per satu dari penampilan mereka sesuai
standar kekayaan. Ya, apalagi kalau bukan kekayaan pandangan manusia hina ini?
Banyak yang ku nilai 5 dan ada beberapa yang ku nilai 8 atau 9 untuk ukuran
penumpang bus. Hatiku berbisik, “Maaf ya, bung. Saya dan kamu pada akhirnya
sama. Sama-sama naik bus kelas ekonomi, meskipun kamu punya BB atau menenteng
i-Phone, tapi kita sama-sama membayar 8 ribu untuk sampai di Jogja”, aku
tersenyum dan meneruskan pandanganku ke arah jendela. Dan bus siap berangkat.
Aku haus. Menyesalnya
aku kenapa tidak bawa air minum dari rumah. Sesudahnya aku berfikir seperti
itu, pedagang asongan masuk kedalam bus dan menawarkan berbagai minuman. Sial.
Aku sangat pengen sekali, tapi boros.
Uangku akan sia-sia kalau hanya ku habiskan untuk minuman ‘mahal’ yang mereka
tawarkan. Mahal, karena posisi mereka yang menawarkan, bukan kita yang datang
sendiri untuk membeli. Sudah, ku tahan saja haus ini.
Sejenak ku tatap
lamat-lamat kotak asongannya. Itu air minum tidak lebih dari 5, permen dan
segala tetek bengek nya kalau aku
beli semua dengan uang sakuku, kurasa juga cukup. Lalu seberapa besar
keuntungan bapak asongan setiap harinya ya? Aku mulai menggunakan kemampuan
matematikaku yang terbatas ini untuk menghitung kalkulasi keuntungan bapak
asongan yang unyu unyu ini. Dan aku
berhenti pada bilangan yang kecil. Khayalanku berujung pada sosok Chairil
Tandjung yang kecilnya juga nelangsa tapi sukses luar biasa sekarang, kira-kira
bapak asongan ini bisa seperti pak Tandjung itu juga nggak ya? Padahal bapak asongan ini sudah berumur. Mataku terpejam,
menghilangkan pikiran yang aneh ini, dan berkesimpulan untuk segera mengubah
gaya hidupku agar tidak berujung nelangsa
nantinya.
...puff the magic dragon live under the sea... suara Kyuhyun yang amat
sangat merdu menenangkan hatiku lagi. Nyenyak hampir saja ku raih hingga
tiba-tiba kakak-kakak pengamen mengucap salam dan mulai menyanyi ...---...
Apa-apaan ini??? Suaranya benar- benar memekakkan telinga. Segera ku matikan
musik yang ku dengarkan, tidak rela aku suara Kyuhyun yang bagus ini
terkontaminasi oleh suara mas-mas pengamen. Mukaku masam, tapi tetap saja ku
keluarkan receh Lima ratus rupiah agar mas-mas ini cepat keluar dan tidak
bermuka masam sehingga tidak menambah buruk moodku. Ku perhatikan lagi mas-mas
ini. Kalau dilihat dari perawakannya dia masih seumuranku atau mungkin sekarang
sudah mengenyam bangku universitas. Lalu kenapa ya dia mengamen? Begitu
menyenangkankan kegiatan mengamen sehingga dia tidak berusaha keras untuk
kuliah? Bila di bandingkan dengan berita di koran : ‘Anak Tukang Becak jadi
Dokter’ mas-mas ini sudah pasti kurang usaha untuk meraih impiannya. Atau
kenapa dia tidak mendaftar audisi menyanyi? Suaranya lumayan kalau mau di latih
pasti bagus itu. Haha, aku tertawa sendiri. Ku tepuk-tepuk mukaku, untuk
menyadarkanku agar tidak ber su’udzon
lagi pada mas-mas pengamen tadi.
Aku berusaha memajamkan
mataku lagi, tapi pemandangan indah orang-orang kaya di daerah Mertoyudan
membuatku iri. Begitu nyamannya mereka bergaya sana-sini dan setiap orang
memandang takjub begitu saja. Sedangkan di sampingnya, orang-orang yang tidak
mampu mau bergaya seperti apapun yang mereka gayakan selalu di pandang sebelah
mata oleh orang awam seperti aku ini.
Sampailah aku pada
kesimpulan bahwa hidup itu sebuah pilihan, mau baik atau buruk. Kaya atau
miskin, pintar atau bodoh, dan bahagia atau tidak. Semua tergantung usaha, dan
strategi kita. Salah satunya adalah strategi merebutkan kasih sayang Alloh.
Tidak ada yang tahu seperti apa hati-hati manusia yang sungguh-sungguh
beribadah pada Alloh, hanya Alloh yang tahu. Oleh karena itu penilaianku pada
para penumpang bus ini menjadi tidak berarti. Karena hati-hati manusia tidak
ada yang tahu.
Ceritaku akan segera
berakhir, maka perhatikan baik-baik.
Aku sudah sampai di
asrama tempat aku tinggal selama aku menimba ilmu di sekolahku tercinta ini.
Lelah? Pasti. Haus? Lebih pasti lagi. Ingin segera tidur? Jawabnya, Ya! Yang
lebih pasti adalah pelajaran yang sudah dipetik selama dalam perjalanan menuju
Jogjakarta. Di dalam Bus Jogja-Magelang. Aku yang semula punya hidup yang
mengenaskan harus menghiasanya dengan keikhlasan hati dan semangat yang tinggi
karena Alloh.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Jam
sudah menunjukkan pukul 22.45 semalaman ku habiskan waktuku membereskan seluruh
harta bendaku yang berserakan di kamar. Aku benar-benar ingin istirahat. Aku
tidur tanpa beban.
Sebentar. Tanpa beban,
kataku?
Berarti, aku lupa?
Ah, ya sudah yang
penting aku bisa tidur.
Di tulis untuk memenuhi tugas bahasa indonesia. hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar